Jambi - Polda Jambi kini tengah mengusut dugaan pengemplangan pajak yang dilakukan PT Delimuda Perkasa (DMP). “Kami kini tidak hanya mengusut masalah izin dan analisa mengenai dampak lingkungan PT DMP, tapi juga dugaan pengemplangan pajak,” kata Kapolda Jambi, Brigjen R Dadang Garhadi, Rabu (30/6) kemarin.
Dalam pengusutan kasus ini, polisi akan tetap bekerja sesuai aturan. “Kami akan melaksanakan tugas sesuai dengan jalur putih atau tetap berada pada jalur rel yang benar,” katanya.
Kasus ini bermula dengan adanya pengaduan anggota DPRD Kabupaten Batanghari ke Polda Jambi beberapa waktu lalu. Sebab, berdasarkan asumsi, PT DMP yang memiliki pabrik pengolahan buah kelapa sawit di Desa Sengkati Baru, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Jambi, beroperasi tanpa izin sejak sekitar empat tahun lalu, diduga telah mengamplang pajak sebesar Rp 160 miliar. “Berdasarkan pantauan kami, PT DMP tidak pernah membayar pajak. Padahal, kewajiban perusahaan ini untuk membayar pajak ke negara ditaksir Rp40 miliar per tahun. Artinya selama empat tahun itu sudah Rp 160 miliar tidak pernah disetor kepada negara”, kata Ahmad Dailami, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Batanghari, kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Asumsi kerugian negara ini dihitung dari penerimaan tandan buah segar per bulan, rendemen, produksi CPO, harga jual CPO per kilogram, PPN, rendemen kemel, produksi kemel dan dikali dengan total harga. PT DMP mengelolah pabrik kelapa sawit berkafasitas 80 ton per jam sejak empat tahun lalu, setelah 15 Desember 2006, membeli pabrik tersebut dari PT Tunjuk Langit Sejahtera (TLS).
Anehnya, perusahaan itu tidak memiliki kebun sendiri. Dalam pengoperasiannya sehari-hari perusahaan ini menampung buah sawit dari para petani sawit yang berada di sekitar kawasan perusahaan. “Ini saja sudah menyalahi aturan, karena setiap perusahaan membangun pabrik harus memiliki lahan kebun sendiri minimal 2 ribu hektare”, kata Abdul Fattah, Ketua DPRD Kabupaten Batanghari.
Menurut Fattah, dia meminta komisi II DPRD setempat untuk membuat surat rekomendasi, agar pihak pemerintah Kabupaten Batanghari menutup pabrik tersebut. “Saya heran kok sudah beroperasi empat tahun tanpa izin pihak pemerintah daerah tidak melakukan tindakan. Ada apa ini?,”kata Fattah kepada wartawan, sembari bertanya.
PT DMP tidak memiliki izin pengoperasian pabrik, karena memang pemerintah daerah setempat tidak mau mengeluarkan izin operasional, mengingat perusahaan ini tidak memiliki kebun sendiri. “Memang kami tidak mau memberikan izin operasional kepada PT DMP, karena alasan perusahaan tidak memiliki kabun sendiri sesuai dengan aturan”, kata Erfan, Sekeretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Batanghari saat dikonfirmasi Tempo melalui telepon selulernya.
Dikatan Erfan, pihaknya tahun 2008 telah memerintahkan pabrik itu ditutup, tapi dibuka kembali. Pertimbangannya adalah karena banyak petani sawit hanya bisa menjual hasil panen mereka kepada PT DMP. “Saya akui memang perusahaan tidak ada memberi sepeser pun PAD ke pemerintah daerah, tapi saya pikir tidak jadi masalah mengingat kami lebih memikirkan nasib rakyat. Sebaiknya memang rakyat terpikirkan juga ada pemasukan PAD,”ujarnya.
Hanya saja Erfan tidak bisa menjelaskan berapa jumlah rakyatnya yang bergantung hidup di perusahaan itu. Masalah siapa yang salah, menurut Erfan, baik PT TLS pemilik pertama maupun PT DMP dua-duanya salah, karena kami tidak pernah diberi tahu akan adanya pengalihan tangan kepemilikan pabrik tersebut.
Saat melakukan inspeksi mendadak anggota dewan Batanghari hanya bertemu dengan Kepala Tata Usaha PT DMP Hendri Anton. Saat didesak anggota dewan, Anton menolak jika perusahaan tempat dia bekerja tidak pernah bayar pajak. “Perusahaan kami taat akan pajak. Cuma saya tidak bisa menunjukkan bukti slip pembayaran pajak tersebut, karena berada di kantor pusat, yakni di Pekanbaru, Riau”, katanya.
Anton pun menolak jika dikatakan perusahaan DMP tidak memiliki lahan. Menurut dia, perusahaan ini memiliki luas lahan sekitar 1.002 hektare.
Namun dia mengakui, sebagian besar pabrik tempat dia bekerja menampung dari masyarakat, dengan mengatas namakan, antara lain dari Koperasi Batanghari, Koperasi Sukses Mandiri, Toko Manisan Koperasi dan Koperasi Kembangpaseban.
Diakuinya setiap hari akibat kekurangan bahan baku, pabrik hanya bisa mengelola 40 - 60 ton per jam dengan masa operasi 5 - 6 jam per hari.
Dalam pengusutan kasus ini pihak Polda Jambi telah menetapkan tiga tersangka, semuanya dari pihak PT DMP. Hal ini diketahui atas pengakuan Sudyanto RB Purba, kuasa hukum PT DMP, mengakui jika kliennya, antara lain B Parangin Angin, Manajer Pabrik telah dipanggil sebagai tersangka. (cr1)
Sumber Berita: Jambiekspres, Kamis, 1 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar